Kalimat selanjutnya prinsip-prinsip pelestarian lingkungan …… ditetapkan dalam
perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung karena hartanya hilang didepan matanya dan lebih tragis lagi ia mengetahui siapa yang mengambil hartanya.
Hal yang sama dirumuskan kembali pada pasal 42 hingga pasal 44 dimana penekatan hanya pada menghormati hak-hak adat sedangkan tanah sebagai modal dasar investasi masyarakat adat tidak disinggung sama sekali, dan masyarakat adat (masyarakat asli Papua) hanya diakui kepemilikan tanah, tanpa ada usaha pemerintah merubah hak atas tanah menjadi modal investasi awal dalam bentuk kepemilikan saham atas modal tanah, bila ada pembangunan atau dalam bentuk investasi lain diulayat masyarakat adat (masyarakat asli Papua). Coba kita renungkan bunyi Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 5 “Hukum Agraria yang berlaku atas, bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat”,,,,,,,,,,,,,” Dalam hokum negara tanah dan sebagainya mutlak milik adat jika masih ada masyararakat adatnya, lalu bagaimana pemerintah merubah menjadi suatu nilai yang member dampak kepada kesejahteraan rakyatnya tanpa menjual melainkan tetap menjadi modal investasi turun-temurun dari masyarakat adat dimanapun berada di bumi Papua ini. Dari sisi Dana Beredar di Provinsi Papua, tidak mencapai 5 % (lima persen), dan sebanyak 95 % dana Daerah yang tercantum dalam APBD Provinsi Papua dibelanjakan diluar Papua. Dengan kata lain Pemerintah Daerah Papua hanya mampu menahan dana APBD untuk tetap digunakan di Papua kurang dari lima persen. Hal ini terlihat dengan berkembangnya sector perdagangan di berbagaiKabupaten di Provinsi Papua sedangkan sector industry tidak berkembang, dimana suatu daerah dapat dikatakan sedang dalam proses pengembangan sector industry bila persentase sumbangan sector industry antara 10 – 20 persen, sedangkan di Papua belum sampai 3 persen, penumpukan sector ekonomi tanpa tambang di Papua terjadi pada sector Pertanian, namum hasil pertanian ini hanya untuk Konsumsi sendiri dan tidak ada berubahan nilai, hal lanya dengan sector perdagangan di Papua tumbuh berkembang bukan karena hasil pertanian di Papua yang di ekspor keluar melainkan hasil industry daerah lain yang masuk ke Papua.
APBD Provinsi Papua sesuai pasal 34 ayat 1 UU 21 Tahun 2001 “Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: A. pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota; B. dana perimbangan; C. penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;D. pinjaman Daerah; dan E. lain-lain penerimaan yang sah . Dari sumber penerimaan daerah yang betul-betul merupakan keringat (dengan bersusah payah dan berkeringat kau mencari nafkahmu) masyarakat di Papua yaitu pendapatan asli daerah(point a diatas) tak lebih dari 5 (lima) persen, penerimaan dari pemerintah pusat (point b,c,d,e) diatas 95 persen. Lalu untuk pengeluaran daerah berupa Belanja Aparatur dan Belanja Publik dimana belanja Aparatur sebesar 80 persen dan belanja publik sebesar 20 persen, maka total APBD daerah digunakan oleh Aparatur, sehingga masyarakat hanya menikmati 20 persen itupun belum dikurangi keuntungan perusahan dan upah gaji untuk pekerja serta dana untuk pimpro dan benpro, jadi dapat dipastikan bahwa uang yang sampai ke masyarakat lewat APBD hanya 5 -10 persen saja. Kemampuan kita menghasilkan kurang namum kebiasaan kita menghabiskan anggaran daerah tanpa tujuan lebih banyak.
UU 21 tahun 2001 Pasal 56 ayat 3 Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya, pasal 59 ayat 3” Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.” Dari kedua bunyi pasal menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan di Papua tidak akan gratis atau bebas biaya SPP dan Kesehatan, namum pungutan lain tetap saja akan dilakukan pihak sekolah dan Rumah sakit atau sejenisnya, karena ketika kita melakukan pelayanan bebas biaya baik biaya pendidikan maupun kesehatan bunyi pasal pada undang-undang ini harus diamandemen jika tidak maka kita menyalahi kesepakatan otonomisasi khusus, diakhir tahun 2008 Pemda Provinsi Papua mencanangkan bahwa “ biaya Pendidikan atau SPP SD dan SMP tahun 2009 akan dihapuskan atau bebas biaya, ini merupakan pernyataan yang keliru dan tidak tidak bertanggung jawab dan sengaja membohongi public, karena Pemda Provinsi Papua tidak cakap memperhatikan kemampuan daerah, sederhananya dalam penyediaan APBD setiap tahunnya dimana Dana APBD selalu diluncurkan ditengah tahun kalau tidak Juli, agustus malah hingga desember baru dana APBD dicairkan lalu bagaimana nasib pendidikan selama setahun atau 6 (enam) bulan awal sebelum dana APBD dicairkan, apakah sekolah tidak beroperasi atau kegiatan belajar mengajar menunggu sampai dana dicairkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua, karena dari mana dana operasional pendidikan, darimana honor guru bantu atau tenaga honorer dan lain-lainya, apakah dunia pendidikan harus menunggu sampai dana daerah dicairkan?.
Dari semua yang sudah kita dengar dan baca, pertanyaan yang muncul. Apakah Provinsi Papua hadir untuk orang lain, atau apakah pemekaran-pemekaran wilayah Kabupaten, Kecamatan/Distrik maupun Kampung atau desa dapat menjawab tujuan dari pembangunan daerah yakni mengsejahterakan masyarakat asli Papua atau kita hanya menciptakan peluang untuk mengsejahterakan masyarakat non Asli Papua. Persoalan akan berulang dan lagi-lagi SDM yang menjadi kambing hitam, jika SDM yang menjadi kambing hitam atau biang kerok dari terpuruknya pembangunan di Provinsi Papua. Kenapa? Dan mengapa ? malah Kabupaten yang dimekarkan, kenapa distrik dimekarkan, jika tenaga pengajar kita kurang kenapa banyak sekolah dibangun?, jika SDM Orang asli Papua RENDAH kenapa pekerjaan PNS (pegawai Negeri Sipil) yang tidak membutuhkan ketrampilan yang membutuhkan SDM tinggi dipenuhi oleh teman-teman bukan asli Papua? Temanteman non Asli Papua SDMnya baik maka jangan menjadi PNS biarlah orang asli Papua yang bekerja, ada beberapa Kabupaten yang rata-rata lama dibawah 3 atau dibawah 4 secara pengertian bahwa rata-rata lama sekolah 2 berarti baru di kelas 2 SD, jika 3 maka baru kelas 3 SD lalu penerimaan pegawai yang diumumkan terutama untuk formasi tenaga Guru, tenaga Kesehatan dan Tenaga tehnis umumnya sarjana dan diploma, ditambah lagi disiplin ilmu yang merupakan syarat penerimaan tidak dimiliki pada jenjang pendidikan yang dikembangkan di Provinsi Papua, maka dengan sendirinya yang mendominasi dunia kerja PNS adalah teman- teman non Asli Papua, dengan secara tidak sengaja kita sedang melaksanakan transmigrasi intelektual ke Negeri Papua, Apa yang harus kita lakukan ? untuk mengatasi atau mengurangi keterpurukan dan ketersisihan masyarakat Asli Papua di Negerinya. Pertama mengamandemen Undang-undang 21 tahun 2001 atau undang-undang Otonomisasi Khusus, kedua memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari dana APBD, dengan kata lain dana dalam rangka Otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari APBD, atau merupakan APBOK (anggaran pendapatan belanja otonomi khusus) yang dananya dikelola oleh Gubernur dan Bupati yang dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli Papua, sedangkan dana APBD merupakan dana belanja pemerintahan Daerah tetap dikontrol oleh DPRP. Ketiga: Memberdayakan masyarakat adat dalam kepemilikan ulayat adat sebagai modal dasar investasi adat kedepan sehingga setiap tanah ulayat merupakan modal pemasukan dana bagi masyarakat adat yang akan mendorong pendapatan asli daerah dengan sendirinya memperbesar dana beredar di Provinsi Papua. Ke-empat: Sector perdagangan yang berkembang di Papua dengan banyaknya Mall dan Supermarket dan Plaza memberi pertanda bahwa dana APBD hampir 80 persen digunakan untuk konsumsi dan hanya 10 -20 merupakan investasi baik itu gedung kantor maupun sarana penunjang pengembangan masyarakat, dan Pemerintah
Daerah (DPRP, MRP, Eksekutif) mulai berfikir untuk kebijakan atau perdasus yang memproteksi sector perdagangan tradisional hanya diperuntukkan untuk masyarakat asli Papua seperti Penjualan Pinang, dan komodisi tradisional lainnya, serta mulai dipikirkan adanya pasar tradisional dimana isinya hanya pedagang Asli Papua. Ke-lima: kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai dan arti pemekaran bagi masyarakat asli Papua, apakah pemekaran memberikan kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebihlebih apakah pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masyarakat asli Papua hanya menjadi penonton, perlu diingat bahwa dana daerah akan habis dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur. Atau telah berubah indicator kesejahteraan di Papua, dimana Infrastruktur berkembang berarti masyarakat sejahtera.
perdasus, masyarakat pemilik ulayat adat hanya dihormati lalu hartanya diambil tanpa imbalan seperti pencuri lalu pergi meninggalkan pemilik yang bingung karena hartanya hilang didepan matanya dan lebih tragis lagi ia mengetahui siapa yang mengambil hartanya.
Hal yang sama dirumuskan kembali pada pasal 42 hingga pasal 44 dimana penekatan hanya pada menghormati hak-hak adat sedangkan tanah sebagai modal dasar investasi masyarakat adat tidak disinggung sama sekali, dan masyarakat adat (masyarakat asli Papua) hanya diakui kepemilikan tanah, tanpa ada usaha pemerintah merubah hak atas tanah menjadi modal investasi awal dalam bentuk kepemilikan saham atas modal tanah, bila ada pembangunan atau dalam bentuk investasi lain diulayat masyarakat adat (masyarakat asli Papua). Coba kita renungkan bunyi Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 5 “Hukum Agraria yang berlaku atas, bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat”,,,,,,,,,,,,,” Dalam hokum negara tanah dan sebagainya mutlak milik adat jika masih ada masyararakat adatnya, lalu bagaimana pemerintah merubah menjadi suatu nilai yang member dampak kepada kesejahteraan rakyatnya tanpa menjual melainkan tetap menjadi modal investasi turun-temurun dari masyarakat adat dimanapun berada di bumi Papua ini. Dari sisi Dana Beredar di Provinsi Papua, tidak mencapai 5 % (lima persen), dan sebanyak 95 % dana Daerah yang tercantum dalam APBD Provinsi Papua dibelanjakan diluar Papua. Dengan kata lain Pemerintah Daerah Papua hanya mampu menahan dana APBD untuk tetap digunakan di Papua kurang dari lima persen. Hal ini terlihat dengan berkembangnya sector perdagangan di berbagaiKabupaten di Provinsi Papua sedangkan sector industry tidak berkembang, dimana suatu daerah dapat dikatakan sedang dalam proses pengembangan sector industry bila persentase sumbangan sector industry antara 10 – 20 persen, sedangkan di Papua belum sampai 3 persen, penumpukan sector ekonomi tanpa tambang di Papua terjadi pada sector Pertanian, namum hasil pertanian ini hanya untuk Konsumsi sendiri dan tidak ada berubahan nilai, hal lanya dengan sector perdagangan di Papua tumbuh berkembang bukan karena hasil pertanian di Papua yang di ekspor keluar melainkan hasil industry daerah lain yang masuk ke Papua.
APBD Provinsi Papua sesuai pasal 34 ayat 1 UU 21 Tahun 2001 “Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: A. pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota; B. dana perimbangan; C. penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;D. pinjaman Daerah; dan E. lain-lain penerimaan yang sah . Dari sumber penerimaan daerah yang betul-betul merupakan keringat (dengan bersusah payah dan berkeringat kau mencari nafkahmu) masyarakat di Papua yaitu pendapatan asli daerah(point a diatas) tak lebih dari 5 (lima) persen, penerimaan dari pemerintah pusat (point b,c,d,e) diatas 95 persen. Lalu untuk pengeluaran daerah berupa Belanja Aparatur dan Belanja Publik dimana belanja Aparatur sebesar 80 persen dan belanja publik sebesar 20 persen, maka total APBD daerah digunakan oleh Aparatur, sehingga masyarakat hanya menikmati 20 persen itupun belum dikurangi keuntungan perusahan dan upah gaji untuk pekerja serta dana untuk pimpro dan benpro, jadi dapat dipastikan bahwa uang yang sampai ke masyarakat lewat APBD hanya 5 -10 persen saja. Kemampuan kita menghasilkan kurang namum kebiasaan kita menghabiskan anggaran daerah tanpa tujuan lebih banyak.
UU 21 tahun 2001 Pasal 56 ayat 3 Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya, pasal 59 ayat 3” Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.” Dari kedua bunyi pasal menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan di Papua tidak akan gratis atau bebas biaya SPP dan Kesehatan, namum pungutan lain tetap saja akan dilakukan pihak sekolah dan Rumah sakit atau sejenisnya, karena ketika kita melakukan pelayanan bebas biaya baik biaya pendidikan maupun kesehatan bunyi pasal pada undang-undang ini harus diamandemen jika tidak maka kita menyalahi kesepakatan otonomisasi khusus, diakhir tahun 2008 Pemda Provinsi Papua mencanangkan bahwa “ biaya Pendidikan atau SPP SD dan SMP tahun 2009 akan dihapuskan atau bebas biaya, ini merupakan pernyataan yang keliru dan tidak tidak bertanggung jawab dan sengaja membohongi public, karena Pemda Provinsi Papua tidak cakap memperhatikan kemampuan daerah, sederhananya dalam penyediaan APBD setiap tahunnya dimana Dana APBD selalu diluncurkan ditengah tahun kalau tidak Juli, agustus malah hingga desember baru dana APBD dicairkan lalu bagaimana nasib pendidikan selama setahun atau 6 (enam) bulan awal sebelum dana APBD dicairkan, apakah sekolah tidak beroperasi atau kegiatan belajar mengajar menunggu sampai dana dicairkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua, karena dari mana dana operasional pendidikan, darimana honor guru bantu atau tenaga honorer dan lain-lainya, apakah dunia pendidikan harus menunggu sampai dana daerah dicairkan?.
Dari semua yang sudah kita dengar dan baca, pertanyaan yang muncul. Apakah Provinsi Papua hadir untuk orang lain, atau apakah pemekaran-pemekaran wilayah Kabupaten, Kecamatan/Distrik maupun Kampung atau desa dapat menjawab tujuan dari pembangunan daerah yakni mengsejahterakan masyarakat asli Papua atau kita hanya menciptakan peluang untuk mengsejahterakan masyarakat non Asli Papua. Persoalan akan berulang dan lagi-lagi SDM yang menjadi kambing hitam, jika SDM yang menjadi kambing hitam atau biang kerok dari terpuruknya pembangunan di Provinsi Papua. Kenapa? Dan mengapa ? malah Kabupaten yang dimekarkan, kenapa distrik dimekarkan, jika tenaga pengajar kita kurang kenapa banyak sekolah dibangun?, jika SDM Orang asli Papua RENDAH kenapa pekerjaan PNS (pegawai Negeri Sipil) yang tidak membutuhkan ketrampilan yang membutuhkan SDM tinggi dipenuhi oleh teman-teman bukan asli Papua? Temanteman non Asli Papua SDMnya baik maka jangan menjadi PNS biarlah orang asli Papua yang bekerja, ada beberapa Kabupaten yang rata-rata lama dibawah 3 atau dibawah 4 secara pengertian bahwa rata-rata lama sekolah 2 berarti baru di kelas 2 SD, jika 3 maka baru kelas 3 SD lalu penerimaan pegawai yang diumumkan terutama untuk formasi tenaga Guru, tenaga Kesehatan dan Tenaga tehnis umumnya sarjana dan diploma, ditambah lagi disiplin ilmu yang merupakan syarat penerimaan tidak dimiliki pada jenjang pendidikan yang dikembangkan di Provinsi Papua, maka dengan sendirinya yang mendominasi dunia kerja PNS adalah teman- teman non Asli Papua, dengan secara tidak sengaja kita sedang melaksanakan transmigrasi intelektual ke Negeri Papua, Apa yang harus kita lakukan ? untuk mengatasi atau mengurangi keterpurukan dan ketersisihan masyarakat Asli Papua di Negerinya. Pertama mengamandemen Undang-undang 21 tahun 2001 atau undang-undang Otonomisasi Khusus, kedua memisahkan dana dalam rangka otonomisasi khusus dari dana APBD, dengan kata lain dana dalam rangka Otonomisasi khusus harusnya merupakan dana terpisah dari APBD, atau merupakan APBOK (anggaran pendapatan belanja otonomi khusus) yang dananya dikelola oleh Gubernur dan Bupati yang dikontrol oleh MRP yang penggunaannya khusus untuk orang asli Papua, sedangkan dana APBD merupakan dana belanja pemerintahan Daerah tetap dikontrol oleh DPRP. Ketiga: Memberdayakan masyarakat adat dalam kepemilikan ulayat adat sebagai modal dasar investasi adat kedepan sehingga setiap tanah ulayat merupakan modal pemasukan dana bagi masyarakat adat yang akan mendorong pendapatan asli daerah dengan sendirinya memperbesar dana beredar di Provinsi Papua. Ke-empat: Sector perdagangan yang berkembang di Papua dengan banyaknya Mall dan Supermarket dan Plaza memberi pertanda bahwa dana APBD hampir 80 persen digunakan untuk konsumsi dan hanya 10 -20 merupakan investasi baik itu gedung kantor maupun sarana penunjang pengembangan masyarakat, dan Pemerintah
Daerah (DPRP, MRP, Eksekutif) mulai berfikir untuk kebijakan atau perdasus yang memproteksi sector perdagangan tradisional hanya diperuntukkan untuk masyarakat asli Papua seperti Penjualan Pinang, dan komodisi tradisional lainnya, serta mulai dipikirkan adanya pasar tradisional dimana isinya hanya pedagang Asli Papua. Ke-lima: kita semestinya berpikir lebih arif lagi untuk merencanakan pemekaran, apa nilai dan arti pemekaran bagi masyarakat asli Papua, apakah pemekaran memberikan kesejahteraan atau menimbulkan konflik sosial baru, lebihlebih apakah pemekaran dapat menjawab kebutuhan masyarakat atau masyarakat asli Papua hanya menjadi penonton, perlu diingat bahwa dana daerah akan habis dibelanjakan dalam rangka pembentukan infrastruktur. Atau telah berubah indicator kesejahteraan di Papua, dimana Infrastruktur berkembang berarti masyarakat sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar