Alur pikir bagaimana yang digunakan menelaah krisis pembanguan di Tanah Papua? Pertanyaan ini perlu dijawab secara gamblang, sebab bila tak jelas dan diragukan hanya akan membuat “kabur air”. Selama ini telah banyak alur pikir, aneka ragam model dan paradigma pembangunan yang telah dipakai di Tanah Papua, yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju juga.
Berbagai ukuran dapat digunakan untuk menunjukkan kemajuan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya dan politik. Tetapi sesungguhnya model terapan tersebut merupakan terjemahan dari ancangan suatu pola dan konsep anutan kebijakan pembangunan. Kini, dengan semakin menguatnya keinginan memandirikan daerah dalam konteks otonomi, mengharuskan adanya adaptasi model dan paradigma pembangunan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi, menggeser paradigma lama yang terbukti tidak memberi garansi memuaskan. Dalam hal pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang berlangsung secara seimbang antara perubahan dalam struktur sosial dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan penyikapan yang arif bukan menurut penguasa saja, melainkan masyarakat patut diajak bicara.
Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat. Oleh karena itu, dipertanyakan kembali: masih relevankan para-digma pertumbuhan dalam proses pembangunan di Tanah papua ? Untuk mencoba menjawabnya, perlu merenungkan kembali dan mengkaji ko-nsepsi pembangunan yang harus dikembangkan di tengah tingginya intensitas per-ubahan dewasa ini, memasuki era otonomi khusus di abad informasi. Dalam kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dikom-petisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain, masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan dunia dewasa ini telah meng indikasikan beberapa faktor seperti: rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, per-dagangan bebas, primary service, good governence, high cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan nilai-nilai dari luar, jelas berada dalam takaran keraguan.
Munculnya gugatan terhadap keabsahan paradigma pertumbuhan akhir-akhir ini terutama dalam membangun masyarakat secara materil, karena dilatari mun-culnya banyak fenomena yang menimbulkan berbagai masalah. Salah satu aspek–nya adalah ketika pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan yang mengede-pankan prinsip trickle down effect dan spread effect, ternyata telah menghasilkan konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sementara itu, ketika pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengem-bangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat keter-gantungan masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi teralienasi dan kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas eufimisme dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial dalam masyarakat. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan yang mengemuka di Tanah Papua dalam bebe-rapa kurun waktu ternyata menjadi landasan yang mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain pembangunan.
Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi sebagai respon terhadap krisis multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, maka pemerintah telah meng-gariskan langkah-langkah kebijakan pembangunan yang meliputi empat tahapan yaitu : penyelamatan (rescue); pemulihan (recovery); pemantapan (stabilization); dan pembangunan (development). Dalam pelaksanaannya, diarahkan pada upaya pening-katan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab menuju ke otonomi khusus. Dengan demikian, desain model pembangunan ber-sifat makro-sektoral dan mikro-spasial sesuai kondisi daerah di Tanah Papua, meng-kombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai aliran.
Merujuk pada hal-hal di atas, maka ancangan pembangunan di Tanah Papua ke depan, perlu diantisipasi dengan melakukan restrospeksi dan evaluasi kritis untuk menemukan perspektif solusinya. Dalam hal ini, dilakukan deskripsi tentang issu-issu pembangunan strategik dan analisis terhadap aspek-aspek analisis historis, yang meliputi tiga tahapan paradigma dan aliran teori pembangunan yang pernah dan sedang dianut sejak era Orde Baru hingga Reformasi.
Berbagai ukuran dapat digunakan untuk menunjukkan kemajuan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya dan politik. Tetapi sesungguhnya model terapan tersebut merupakan terjemahan dari ancangan suatu pola dan konsep anutan kebijakan pembangunan. Kini, dengan semakin menguatnya keinginan memandirikan daerah dalam konteks otonomi, mengharuskan adanya adaptasi model dan paradigma pembangunan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi, menggeser paradigma lama yang terbukti tidak memberi garansi memuaskan. Dalam hal pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang berlangsung secara seimbang antara perubahan dalam struktur sosial dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan penyikapan yang arif bukan menurut penguasa saja, melainkan masyarakat patut diajak bicara.
Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat. Oleh karena itu, dipertanyakan kembali: masih relevankan para-digma pertumbuhan dalam proses pembangunan di Tanah papua ? Untuk mencoba menjawabnya, perlu merenungkan kembali dan mengkaji ko-nsepsi pembangunan yang harus dikembangkan di tengah tingginya intensitas per-ubahan dewasa ini, memasuki era otonomi khusus di abad informasi. Dalam kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dikom-petisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain, masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan dunia dewasa ini telah meng indikasikan beberapa faktor seperti: rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, per-dagangan bebas, primary service, good governence, high cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan nilai-nilai dari luar, jelas berada dalam takaran keraguan.
Munculnya gugatan terhadap keabsahan paradigma pertumbuhan akhir-akhir ini terutama dalam membangun masyarakat secara materil, karena dilatari mun-culnya banyak fenomena yang menimbulkan berbagai masalah. Salah satu aspek–nya adalah ketika pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan yang mengede-pankan prinsip trickle down effect dan spread effect, ternyata telah menghasilkan konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sementara itu, ketika pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengem-bangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat keter-gantungan masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi teralienasi dan kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas eufimisme dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial dalam masyarakat. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan yang mengemuka di Tanah Papua dalam bebe-rapa kurun waktu ternyata menjadi landasan yang mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain pembangunan.
Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi sebagai respon terhadap krisis multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, maka pemerintah telah meng-gariskan langkah-langkah kebijakan pembangunan yang meliputi empat tahapan yaitu : penyelamatan (rescue); pemulihan (recovery); pemantapan (stabilization); dan pembangunan (development). Dalam pelaksanaannya, diarahkan pada upaya pening-katan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab menuju ke otonomi khusus. Dengan demikian, desain model pembangunan ber-sifat makro-sektoral dan mikro-spasial sesuai kondisi daerah di Tanah Papua, meng-kombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai aliran.
Merujuk pada hal-hal di atas, maka ancangan pembangunan di Tanah Papua ke depan, perlu diantisipasi dengan melakukan restrospeksi dan evaluasi kritis untuk menemukan perspektif solusinya. Dalam hal ini, dilakukan deskripsi tentang issu-issu pembangunan strategik dan analisis terhadap aspek-aspek analisis historis, yang meliputi tiga tahapan paradigma dan aliran teori pembangunan yang pernah dan sedang dianut sejak era Orde Baru hingga Reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar