Pembangunan dianggap berhasil bila pembangunan itu sendiri mampu mensejahtrakan masyarakat dan mandiri sebagai modal pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berjalan baik mana kala partisipasi masyarakat ikut dalam pembangunan itu. Namun harapan melalui pendekatan pembangunan pertumbuhan mengalami distorsi kepada lapisan masyarakat tertentu (konglomerat dan pejabat), justru menghasilkan kesenjangan ekonomi, sosial dan politik di tengah bangsa Indonesia. Apakah model pembangunan Rostow telah gagal? Sebuah model adalah ‘alat’ akan bermanfaat bila pemakai alat itu mampu dan komited menghasilkan pembangunan yang dicita-citakan bersama.
Larutnya Pemerintah Pusat melalui kebijakan top down membuat masyarakat merasa ‘dipaksa’ menelan kebijakan yang belum tentu cocok. Penyeragaman model pembangunan sama dengan menghilangkan potensi lokal yang beribu-ribu banyaknya. Kebijakan keuangan dan regulasi/perijinan dipegang pemerintah pusat membuat pemerintah daerah bagai ‘macan ompong’; hasil kekayaan daerah diserap oleh pusat. Daerah hanya berfungsi sebagai ‘satpam’ yang menjaga sumberdaya alam yang sudah hancur. Ketika muncul kesadaran untuk menuntut hak-hak masyarakat lokal ketika itu pula depresi militer dikerahkan untuk meredam gejolak masyarakat.
Hasil pembangunan adalah kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah. Di daerah kaya sumberdaya alam seperti Papua hanya dirasakan oleh pendatang dan pejabat-pejabat tertentu. Sumberdaya manusia masyarakat asli Papua sangat rendah sebagai penyebab utama tidak mampu berpartisipasi dan berkompetisi dengan para pendatang. Ada kecenderungan penduduk asli ‘manja’ dengan ketersediaan sumberdaya alam yang dimiliki sedangkan pendatang memiliki tekad ‘kerja keras’ untuk hidup yang lebih baik. Hasilnya adalah ketergantungan hidup antara si miskin terhadap si kaya dan kesenjangan hidup sosial. Dalam kehidupan masyarakat yang tidak seimbang akan muncul kecemburuan-kecumburuan sosial. Kalau kecemburuan ini tidak dijembatani akan menimbulkan kompensasi yang berlebihan dalam bentuk kekerasan dan perpecahan. Perpecahan masyarakat inilah adalah pertanda disintegrasi bangsa akan menjadi kenyataan.
Larutnya Pemerintah Pusat melalui kebijakan top down membuat masyarakat merasa ‘dipaksa’ menelan kebijakan yang belum tentu cocok. Penyeragaman model pembangunan sama dengan menghilangkan potensi lokal yang beribu-ribu banyaknya. Kebijakan keuangan dan regulasi/perijinan dipegang pemerintah pusat membuat pemerintah daerah bagai ‘macan ompong’; hasil kekayaan daerah diserap oleh pusat. Daerah hanya berfungsi sebagai ‘satpam’ yang menjaga sumberdaya alam yang sudah hancur. Ketika muncul kesadaran untuk menuntut hak-hak masyarakat lokal ketika itu pula depresi militer dikerahkan untuk meredam gejolak masyarakat.
Hasil pembangunan adalah kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah. Di daerah kaya sumberdaya alam seperti Papua hanya dirasakan oleh pendatang dan pejabat-pejabat tertentu. Sumberdaya manusia masyarakat asli Papua sangat rendah sebagai penyebab utama tidak mampu berpartisipasi dan berkompetisi dengan para pendatang. Ada kecenderungan penduduk asli ‘manja’ dengan ketersediaan sumberdaya alam yang dimiliki sedangkan pendatang memiliki tekad ‘kerja keras’ untuk hidup yang lebih baik. Hasilnya adalah ketergantungan hidup antara si miskin terhadap si kaya dan kesenjangan hidup sosial. Dalam kehidupan masyarakat yang tidak seimbang akan muncul kecemburuan-kecumburuan sosial. Kalau kecemburuan ini tidak dijembatani akan menimbulkan kompensasi yang berlebihan dalam bentuk kekerasan dan perpecahan. Perpecahan masyarakat inilah adalah pertanda disintegrasi bangsa akan menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar