> SATU HATI UNTUK PAPUA: PEMBANGUNAN DAERAH DI TANAH PAPUA

Blog Archive

Calendar

free counters

free counters

free counter

Selasa, 26 Juli 2011

PEMBANGUNAN DAERAH DI TANAH PAPUA


Rata PenuhPEMBANGUNAN DAERAH DI TANAH PAPUA

BAB I

PENDAHULUAN

Alur pikir bagaimana yang digunakan menelaah krisis pembanguan di Tanah Papua? Pertanyaan ini perlu dijawab secara gamblang, sebab bila tak jelas dan diragukan hanya akan membuat “kabur air”. Selama ini telah banyak alur pikir, aneka ragam model dan paradigma pembangunan yang telah dipakai di Tanah Papua, yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju juga. Berbagai ukuran dapat digunakan untuk menunjukkan kemajuan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya dan politik. Tetapi sesungguhnya model terapan tersebut merupakan terjemahan dari ancangan suatu pola dan konsep anutan kebijakan pembangunan. Kini, dengan semakin menguatnya keinginan memandirikan daerah dalam konteks otonomi, mengharuskan adanya adaptasi model dan paradigma pembangunan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi, menggeser paradigma lama yang terbukti tidak memberi garansi memuaskan. Dalam hal pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang berlangsung secara seimbang antara perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan penyikapan yang arif bukan menurut penguasa saja, melainkan masyarakat patut diajak bicara.

Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat. Oleh karena itu, dipertanyakan kembali: masih relevankan para-digma pertumbuhan dalam proses pembangunan di Tanah papua ? Untuk mencoba menjawabnya, perlu merenungkan kembali dan mengkaji ko-nsepsi pembangunan yang harus dikembangkan di tengah tingginya intensitas per-ubahan dewasa ini, memasuki era otonomi khusus di abad informasi. Dalam kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dikom-petisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan dunia dewasa ini telah meng indikasikan beberapa faktor seperti: rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, per-dagangan bebas, primary service, good governence, high cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan nilai-nilai dari luar, jelas berada dalam takaran keraguan.

Munculnya gugatan terhadap keabsahan paradigma pertumbuhan akhir-akhir ini terutama dalam membangun masyarakat secara materil, karena dilatari mun-culnya banyak fenomena yang menimbulkan berbagai masalah. Salah satu aspek–nya adalah ketika pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan yang mengede-pankan prinsip trickle down effect dan spread effect, ternyata telah menghasilkan konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sementara itu, ketika pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengem-bangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat keter-gantungan masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi teralienasi dan kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas eufimisme dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial dalam masyarakat. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan yang mengemuka di Tanah Papua dalam bebe-rapa kurun waktu ternyata menjadi landasan yang mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain pembangunan.

Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi sebagai respon terhadap krisis multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, maka pemerintah telah meng-gariskan langkah-langkah kebijakan pembangunan yang meliputi empat tahapan yaitu : penyelamatan (rescue); pemulihan (recovery); pemantapan (stabilization); dan pembangunan (development). Dalam pelaksanaannya, diarahkan pada upaya pening-katan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab menuju ke otonomi khusus. Dengan demikian, desain model pembangunan ber-sifat makro-sektoral dan mikro-spasial sesuai kondisi daerah di Tanah Papua, meng-kombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai aliran.

Merujuk pada hal-hal di atas, maka ancangan pembangunan di Tanah Papua ke depan, perlu diantisipasi dengan melakukan restrospeksi dan evaluasi kritis untuk menemukan perspektif solusinya. Dalam hal ini, dilakukan deskripsi tentang issu-issu pembangunan strategik dan analisis terhadap aspek-aspek analisis historis, yang meliputi tiga tahapan paradigma dan aliran teori pembangunan yang pernah dan sedang dianut sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi.

B A B II

ISI

1. A. ISSU-ISSU STRATEGIK

Issu-issu utama pembangunan di Papua, telah lama menjadi perhatian publik, baik pemerintah maupun masyarakat. Di pihak masyarakat, issu-issu tersebut telah menjadi arena perjuangan dalam rangka menemukan suatu kondisi yang lebih baik di semua aspek kehidupan, sementara itu di pihak Pemerintah, issu-issu tersebut telah disetting sebagai agenda pembangunan dalam berbagai kebijakan, strategi dan program-program pembangunan tahunannya. Adapun issu-issu pembangunan tersebut meliputi semua bidang dan sektor yang pada dasarnya masih tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Tetapi sejumlah issu strategis penting selama 5(lima) tahun terakhir ini adalah :

1. Sumberdaya Manusia : berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi Papua (2004) bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi dihadapkan pada persaingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.
2. Pemberdayaan Ekonomi Daerah : Memperhatikan struktur ekonomi Papua dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nampak didominasi sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, serta sektor perdagangan dan jasa. Sementara sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB sangat kecil. Menurut hasil penelitian UNDP bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (2005), diperkirakan masih terdapat 41,80% penduduk yang dikategorikan sebagai kelompok miskin di Papua, dan angka ini sedikit menurun pada tahun 2003 yaitu 39,02 %. Bila dibandingkan dengan angka nasional, Papua masih tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Toli-kara memiliki persentase penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah pantai seperti Asmat, Keerom, Boven Digoel dan Sarmi. Demikian halnya dengan Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Merauke sebagai kabupaten induknya, tidak ada perbedaan yang jauh dalam hal persentase penduduk miskin. Data yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004) dan Susenas (2004) menunjukkan bahwa per-sentase penduduk miskin Papua, menurun dari 41,80 pada 2002 menjadi 39,02 pada tahun 2003. Tetapi jika dibandingkan dengan persentase tingkat nasional, kemiskinan di Papua tergolong tinggi. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan Indeks pembangunan Manusia (IPM) dapat dilihat pada tabel berikut :

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) 1999-2002
Skala Harapan Hidup

(Tahun)
Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah

(tahun)
Pengeluaran Perkapita

(Ribu Rupiah)


IPM


Peringkat IPM
Reduksi

IPM
1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 99-02
Nasional 66.2 66.2 88.4 89.95 6.7 7.1 578.8 591.2 64.3 65.8 - - -
Papua 64.5 65.2 71.2 74.4 5.6 6.0 579.9 578.2 58.8 60.1 25 29 1.5


INDEKS KEMISKINAN MANUSIA (IKM) 1999-2000
Skala Penduduk Tidak capai Usia 40 tahun (%) Angka Buta Huruf dewasa Penduduk Tanpa Akses Air bersih (%) Penduduk Tanpa Akses Sarana Kesehatan Balita Kurang Gizi (%) IKM
1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002
Nasional 15.2 15.0 11.6 10.5 51.9 44.8 21.6 23.1 30.0 25.8 25.2 22.7
Papua 17.8 16.7 28.8 26.9 54.5 61.6 35.0 36.1 28.3 24.3 31.3 30.9


Sumber : Susenas 2004.

1. Infrastruktur : Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi. Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya. Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara).
2. Pemerintahan : Di bidang ini, nampak terlihat masih adanya kendala serius, terutama dalam hal : justifikasi hukum pemerintahan serta kapasitas dan kinerja orga-nisasi pemerintahan. Kerangka pemerintahan dalam konteks otonomi khusus menjadi kabur, karena belum jelasnya perangkat pemerintahan yang seharusnya diberlakukan, sementara itu kapasitas dan kinerja organisasinya menjadi lemah oleh karena: (a) Semua daerah baik yang lama maupun yang baru dimekarkan telah membentuk dinas-dinas yang terkait dengan sektor tersebut; (b) Pelaksanaan fungsi dan tugas dinas-dinas di daerah pemekaran sudah berjalan namun belum optimal karena pada tahun-tahun awal perhatian pemerintah sebagian besar pada penyediaan prasarana dan sarana fisik kantor. (c) Masih banyak pegawai dari dinas-dinas di daerah pemekaran meninggalkan tugas dan tinggal di kota-kota.
3. B. POLA PENDEKATAN

Bertitik tolak pada kondisi potensi dan permasalahan, maka kebijakan pemba-ngunan ditempuh dengan 4(empat) pendekatan, yaitu : (a) Mikro spasial vs Makro sektoral. Keserasian pendekatan kawasan yang bertumpu pada aspek manusia (mikro) dan pen-dekatan pertumbuhan yang bertumpu pada sektor potensial (makro); (b) Kesejahteraan dan ketenteraman. Keserasian proses pembangunan dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman lahir dan bathin yang dinamis dalam massyarakat; (c) TigaTungku. Keserasian pendekatan pembangunan di mana dalam proses pembangunan melibatkan peran aktif tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah secara serasi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing melalui kemitraan dengan pola pendampingan, pembimbingan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai wujud nyata pemerintahan yang baik (good governance) ; (d) Wawasan Lingkungan. Keserasian pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana semua kegiatan pembangunan harus dikaji dampaknya.

1. C. ARAH KEBIJAKAN

Secara khusus, kebijakan pembangunan di Provinsi Papua dititik beratkan pada 4 program prioritas utama, yaitu :

1. Pendidikan : diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Dalam era otonomi khusus, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Meng-upayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai dengan karakteristik spesifik Papua seperti pendidikan berpola asrama. Peningkatan mutu pendidikan Adapun jabaran kebijakan menjadi kegiatan dititik beratkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan yang bertujuan untuk menjangkau dan menyerap penduduk usia sekolah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM agar menguasai Ipteks, merubah sikap dan pola pikir untuk bertindak pro-fesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi serta mampu mengelola potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraannya.
2. Kesehatan : diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.
3. Ekonomi Kerakyatan. Diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pember-dayaan ekonomi rakyat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Di dalam Renstra telah dituangkan bahwa pertanian merupakan salah satu sektor yang akan terus dipacu pengembangannya. Kebijakannya diarahkan pada sektor : pertanian, perikanan dan kelautan, serta kehutanan.
4. Infrastruktur. Dalam rangka pembangunan prasarana dan Sarana, kebijakan diarahkan pada pembangunan dan peningkatan infrastuktur pemerintahan, ekonomi dan Pelayanan Publik de-ngan tujuan untuk mendukung pe-ngembangan wilayah, terutama wi-layah yang belum tersentuh pem-bangunan, pusat-pusat pemerintahan, kawasan pengembangan ekonomi rakyat dan kawasan-kawasan tumbuh cepat. Pembangunan infrastruktur di-harapkan dapat meningkatkan pelayanan pemerintahan serta mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat di suatu kawasan dan sekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberikan akses bagi masyarakat pedesaan untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa, serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Di sektor perhubungan, sejumlah kegiatan diarahkan untuk : (a) Mengembangkan sistim transportasi laut, darat dan udara terutama menuntaskan pembangunan ruas jalan strategis antar kabupaten-kota. (b) Mengembangkan sistim angkutan umum melalui penyediaan kapal penumpang perintis dan jasa transportasi laut lainnya sebagai penghubung antar pulau. (c) Mengembangkan dan membangun jaringan jalan antar desa/kampung. (d) Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi untuk mendukung pembangunan Kota Kabupaten.
5. D. Relevansi Teori Dan Paradigma Pembangunan

Gagalnya suatu paradigma menerangkan fenomena atau gejala alam (dan atau gejala sosial) yang merupakan suatu realitas baru, disebabkan adanya “unsur” baru yang sebelumnya tidak diprediksi keberadaannya sewaktu paradigma itu disusun. Oleh karena itu, upaya pertama yang perlu dilakukan dalam penyempur-naan atau penyusunan paradigma adalah penemukenalan unsur-unsur dimaksud. Dikaitkan dengan kondisi Papua,penyusunan dan perumusan wacana kemandirian lokal sebagai suatu alternatif pendekatan atau paradigma baru pembangunan dilakukan dengan bertitik tolak pada upaya penemukenalan “unsur” yang menjadi penyebab kegagalan pendekatan pemba-ngunan yang lama. Pendekatan pembangunan yang dikenal dan dikembangkan oleh para pakar dan praktisi pembangunan cukup mewarnai dinamika pembangunan di Tanah Papua selama ini, sebut saja teori modernisasi, teori ketergantungan, teori artikulasi, dan teori sistem dunia. Penerapan teori-teori tersebut ternyata tidak secara rigit dianut, melainkan kombisasi antar teori yang melahirkan suatu paradigma pembangungan yang sangat variatif dan terkadang menjadi tidak jelas. Contoh : antara paradigma pertumbuhan dan paradigma pemerataan yang di dalamnya menyertakan pula konsep pembangunan berwawasan lingkungan pembangunan manusia seutuhnya, dan pembangunan berkelanjutan.

1. Paradigma Pembangunan Era Sentralistis

Pada era sentralistis – ketika itu Papua masih disebut Irian Jaya – paradigma pembangunan yang diterapkan nampak merupakan kombinasi teori yang dikenal sebagaimana diutarakan sebelumnya, lebih dominan pada paradigma pertumbuhan menurut teori modernisasi. Hal ini jelas nampak pada posisi hubungan Jakarta- Papua, di mana hampir seluruh ide, konsep, rencana, dan petunjuk pelaksanaan pembangunan dilakukan secara terpusat yang mengandalkan prinsip tricle down effect. Walau paradigma tersebut diselingi dengan paradigma pemerataan dan keadilan, tetapi tak cukup memberi warna pada seluruh tahapan pembangunan di Papua. Secara umum, konsep pembangunan yang diterapkan berdasar pada para-digma itu adalah membagi Tanah Papua ke dalam beberapa wilayah “pusat pertumbuhan”. Ketika itu terdapat 4 pusat pertumbuhan. Konsep ini, kemudian ternyata menimbulkan kesenjangan yang kian menganga antara daerah pusat pertumbuhan yang dipercepat dengan daerah-daerah pinggiran dan hinterland yang hanya memperoleh efek minimal saja. Konsep tersebut dituangkan dalam Pola Dasar pembangunan jangka panjang, yang selanjutnya dioperasionalkan dalam REPELITADA dan APBD dan menggunakan mekanisme UDKP dan Rakorbang. Dalam bidang pendidikan, ditandai dengan kebijakan dan strategi “percepatan” kualitas dengan standar yang ditentukan di Jakarta berdasarkan prinsip sama bagi semua Maka berlakulah kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan hingga 70 % dari seluruh muatan kurikulum. Alokasi pembiayaan, personalia, dan sarana manajemen lainnya, serta penetapan program pembangunan di bidang pendidikan di desain bukan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula halnya di bidang lainnya, termasuk di bidang ekonomi. Skala pembangunan ekonomi di Papua, ketika itu termasuk yang terkecil dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia.

Sektor pertambangan dan migas yang menjadi andalan kekayaan Papua dikuasai oleh Jakarta dan dikembalikan ke Papua hanya dalam jumlah yang kecil (maksimal 30 % saja dari keuntungan yang diterima oleh Negara). Di bidang kependudukan, atas dasar pemerataan penduduk semata tanpa memperhatikan aspek kualitasnya, Pemerintah Pusat mengirim transmigran dalam jumlah besar ke Papua. Pemerintah dan masyarakat Papua tinggal menerima saja tanpa dilibatkan secara serius dalam perencanaannya. Pada era pembangunan ini, juga diterapkan paradigma pemerataan yang didasarkan pada teori artikulasi, di mana melalui berbagai program pembangunan di kampung-kampung ditempuh dengan menggunakan strategi “pengelompokan masyarakat”. Muncullah berbagai simpul-simpul kecil pembangunan di desa-desa, seperti : KSM, POKMAS, dll. Yang dimaksudkan agar masyarakat dapat secara bersama-sama dalam kelompoknya mendesain rencana kebutuhannya sendiri dengan cara produksi bersama-sama. Sebutlah misalnya : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), JPS, dan Pengembangan Kawasan Terpadu, Program BANGDES, dengan pola pendampingan. Program ini dilakukan pada skala mikro-spasial tetapi dirancang dengan skala-makro oleh pemerintah.

Bagi Papua, serangkaian fakta-fakta tersebut justru hanya menciptakan ketergan-tungan abadi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mendasari penyelenggaraan Pemerintahan daerah tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen menggeser kewenangan itu dari Jakarta ke Papua. Faktanya, dalam segala hal, tugas Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya sebatas mengusulkan. Badan Perencanaan pembangunan Daerah yang dibentuk di Papua pada 1976, tidak dapat berperan sebagai institusi fungsional, sebab perannya selama ini kurang jelas baik sebagai koordinator pembangunan maupun sebagai pengendali pemba-ngunan. Karena ketidak jelasan tersebut, maka seringkali Bappeda justru bertindak sebagai pelaksana pembangunan Beberapa sinyalemen tentang kegagalan pembangunan di Papua ketika itu adalah bentuk ekspresi dari penyesalan terhadap perlakuan kebijakan pemerintah pusat di Papua yang ternyata hanya menimbulkan deviasi terhadap sasaran yang ingin dicapai. Penyebabnya jelas, faktor-faktor struktural sebagai faktor ikutan dari teori modernisasi dengan paradigma pertumbuhannya, mencakup : masalah alokasi anggaran yang tidak tepat waktu sesuai dengan desakan kebutuhan masyarakat, mekanisme top-down yang lebih dominan, serta disiplinisasi pada mekanisme aturan perencanaan yang berlaku, ukuran keberhasilan yang digunakan kurang tepat.

1. Paradigma pembangunan Era Otonomi Daerah

Bahwa reformasi nasional telah melahirkan beberapa perubahan mendasar hingga ke Tanah Papua. Dimulai dengan pergeseran kewanangan dari Jakarta ke daerah-daerah dalam konteks desentralisasi pemerintahan melalui undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 tahun 1999. Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/kota di Tanah Papua mulai memiliki kewenangannya sendiri untuk membangun daerahnya masing-masing, kecuali dalam 6 hal yaitu: luar negeri, pertahanan, moneter, kehakiman, agama, dan lain-lain.Era ini ditandai dengan semakin menumpuknya masalah- masalah pemba-ngunan yang ditimbulkan oleh kondisi masa lalu. Satu-persatu masalah mencuat. Di lain pihak, pemerintah tidak cukup stabil dalam menjalankan roda peme-rintahan dan mendesain rencana pembangunannya. Krisis di Tanah Papua yang sudah terjadi sejak lama kemudian berlanjut. Sejumlah peristiwa politik yang tidak menguntungkan telah turut mempengaruhi kinerja pembangunan yang memang sudah terseok-seok itu. Praktis, laju pembangunan di era ini berjalan perlahan tanpa tenaga. Para pihak lebih banyak disibukkan dalam pembenahan masalah politik dan penyesuaian kebijakan baru serta penataan kembali organisasi pemerintahan dan rencana pembangunan daerah.

Munculnya kesadaran baru bagi masyarakat di Tanah Papua,seolah meng-giring pemerintahan dan pembangunan ke arah perubahan yang sangat drastis. Dalam usianya yang hanya kurang dari 4 tahun, era otonomi daerah hanya melahirkan sejumlah icon baru pembangunan, seperti : kian menebalnya sikap emosional yang melahirkan istilah “putra daerah”, “menjadi tuan di negeri sendiri”, yang bersamaan dengan meningkatnya tekanan sebagian kelompok masyarakat yang ingin merdeka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menjustifikasi hal tersebut bersifat protektif. Artinya, bahwa pembangunan di Tanah Papua harus memberikan prioritas pada Orang Papua. Hal ini disadari benar bahwa selama Pemerintahan Orde Baru pada era pembangunan sentralistis, Orang Papua kurang dihiraukan sebagai obyek utama pembangunan Sejumlah kemajuan yang diperoleh pada era ini adalah mengurangi jumlah pengangguran dengan melakukan rek-ruitmen Pegawai Negeri Sipil baru lebih dari 3.000 orang dalam 3 tahapan yang di-dominasi oleh orang-orang Papua. Selain itu, dilakukan pula penyesuaian struktur organisasi dan promosi jabatan bagi Orang Papua di semua eselon penting. Juga, diperoleh kemajuan dari aspek pemberdayaan institusi kemasyarakatan. Seiring dengan era reformasi institusi kemasyarakatan menjadi tumbuh dan berkembang kuat untuk menjadi mitra kerja pemerintah dalam pembangunan Sangat disayangkan, karena dalam kurun waktu itu belum dapat dilakukan perluasan lapangan kerja di luar sektor pemerintahan. Hal ini lebih disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu : minimnya kualitas sumberdaya manusia, dan faktor permodalan usaha lokal yang masih terbatas. Kebijakan rekruitmen dan promosi di dalam birokrasi pemerintahan kurang memperhatikan aapek kualitasnya. Hubungan-hubungan kerja ke-dinas-an berkembang menjadi negatif ke arah primordialisme sempit. Munculnya fenomena baru yang cenderung tidak efisien dalam pembangunan, serta pertumbuhan institusi sosial kemasyarakatan menjadi tidak terkendalikan dengan baik.

Sisi positif dari kelahiran kesadaran baru itu adalah semakin menguatnya visi bersama menuju ke kemandirian lokal dalam konteks NKRI. Maksudnya adalah bahwa mulai disadari kelemahan sumberdaya manusia ditengah-tengah kekuatan sumberdaya alam yang berlimpah. pembangunan di semua bidang dan sektor tidak optimal dan hanya melahirkan ketidak percayaan rakyat pada pemerintah. Tingkat pendidikan rendah, derajat kesehatan masyarakat rendah, tingkat kemiskinan rakyat amat parah, infrastuktur serba tak berkecukupan. Apa yang salah ? Demikian pertanyaan yang seringkali timbul dalam berbagai wacana pembangunan di daerah ini. Gagasan kemudian bergulir untuk memotong ketergantungan dari Pemerintah Pusat dan mulai pro-aktif melakukan pemberdayaan masyarakat di semua aspek kehidupan.Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak lagi menjadi primadona. Tetapi yang dikedepankan adalah paradigma pemerataan pembangunan yang manusiawi dan berwawasan lingkungan. Periodisasi era yang singkat ini hanya dapat menghasilkan suatu kerangka pembangunan berbasis “kemandirian” yang meletakkan dasar-dasar pokok bagi kelanjutannya di era berikutnya. Paradigma yang dikembangkan masih berkutat pada teori modernisasi, tetapi lebih mengedepankan teori weber tentang etika protestan, teori McLelland tentang N-Ach, dan teori Inkeles tentang pembangunan berwajah manusiawi. Mulailah dikedepankan ekonomi kerakyatan, dimana seluruh aspek perekonomian daerah mulai dirancang dari masyarakat hingga ke tingkat makro. Penerapan strategi ekonomi kerakyatan di masa lalu hanyalah bersifat semu dan setengah hati saja, karena sama sekali tidak membantu rakyat miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimulai dari jenjang pendidikan dasar dengan pola asrama dan melakukan mengkaderan melalui pengembangan kerjasama pendidikan dengan institusi pendidikan yang sudah maju di dalam dan di luar negeri. Selain itu institusi birokrasi mulai memperjelas visi dan misi pembangunan yang diembannya masing-masing, serta membangun jaringan kemitraan dengan berbagai stakeholders.

Oleh karena sebagian besar penduduk Papua bermukim di kawasan perdesan itu, relatif masih membutuhkan bimbingan, maka pola pendampingan dijadikan pola pemberdayaan sangat relevan, dengan melibatkan peran para tokoh pem-baharu di Kampung, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan LSM. Dalam penerapannya, pola pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan masyarakat di kawasan perkotaan tidak dipersamakan, karena selain karak-teristik sosial-ekonominya berbeda, kehadiran varian-varian kekuatan institusi masyarakat di kedua kawasan itu menunjukkan identitasnya masing-masing. Pola pembangunan masyarakat di kawasan perdesaan dan pedalaman memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Konsep trickle down effect, spread effect, serta security approach tidak digunakan lagi secara efektif, melainkan mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan yang sungguh-sungguh memihak kepada masyarakat melalui pemberian akses yang tinggi bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian proses pembangunan .Titik tolaknya pada prinsip pembangunan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme bottom-up terus didorong dengan prasyarat adanya upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan perangkat pemerintahan Kampung/kota dan Distrik secara bertahap dan berkesinambungan serta realokasi anggaran pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan yang memadai sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

1. Paradigma pembangunan Era Otonomi Khusus

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 menjadi acuan utama paradigma baru bagi kelanjutan proses pembangunan di Papua. Undang-undang ini tidak saja menegaskan kembali kewenangan berotonomi sebagaimana undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi juga diberi label “khusus”. Kekhususan dimaksud dicirikan oleh karakteristik lokal yang beraras “budaya” dan “format peme-rintahan”. Orientasi pembangunan pada era ini, pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari desain pembangunan pada era sebelumnya yang telah dikerangkakan dalam perspektif otonomi dan kemandirian. Dengan semakin menguatnya kesadaran akan ketertinggalan di berbagai aspek Pembangunan, maka kebijakan, strategi, dan program Pembangunan semakin diintensifkan. Hal ini didukun dengan adanya tambahan alokasi pembiayaan, dana OTSUS selain DAU/DAK. Kebijakan pengelolaan dana otonomi khusus, ditetapkan berdasarkan pada tuntutan kebutuhan Pembangunan di tiap Kabupaten/Kota di Papua dalam bentuk program prioritas yang dipertajam. Beberapa hal penting yang masih menjadi kendala serius dalam rangka keber-lanjutan Pembangunan pada era ini adalah : Pertama, adanya pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2000. Peristiwa ini telah menimbulkan pengaruh besar terhadap stabilitas keamanan di Provinsi Papua serta menguras tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit dalam upaya penyelesaiannya. Tetapi hingga kini belum juga dapat dituntaskan. Kedua, struktur dan kinerja birokrasi masih saja belum dapat dituntaskan, terkait dengan belum terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketiga, belum adanya kerangka acuan Pembangunan yang disepakati berdasarkan jiwa otonomi khusus dan Keempat, intensitas masalah politik yang makin meninggi.

Memasuki tahun keempat pelaksanaan otonomi khusus Papua, walaupun terdapat kendala-kendala serius yang menyertainya, namun telah dicapai kemajuan-kemajuan berarti, terutama dalam 4(empat) bidang prioritas Pembangunan, yaitu : pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Sejumlah indikasi yang dijadikan ukuran adalah : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, mencapai 4,5 % dengan PDRB mencapai 8,13 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa program prioritas dapat menggerakkan roda perekonomian Papua dan dapat membantu pembentukan modal masyarakat. Program peningkatan ketahanan pangan dan program pengem-bangan argribisnis telah mampu meningkatkan produktivitas, perluasan areal tanam dan pengembangan teknologi, pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, dan penggalakan kembali perkoperasian rakyat. Kedua, di sektor pendidikan, meningkatnya orang Papua yang telah terdidik hingga pada jenjang doktor, meningkatnya angka partisipasi sekolah (APK & APM) bagi SD, SLTP, dan SMU/ SMK, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga guru di berbagai jenjang pendidikan, serta semakin memadainya prasarana dan sarana pendidikan. Ketiga, di sektor kesehatan, menurunkan angka kematgian bayi menjadi 80/1000, meningkatnya kualitas gizi penduduk, mening-katnya upaya penanggulangan penyakit sehingga menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga medis dan paramedis, serta semakin tersebarnya pusat-pusat layanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Hal-hal yang masih dalam upaya penanggulangan serius dan berkelanjutan adalah HIV/Aids di mana Papua termasuk yang paling beresiko di Indonesia serta penanggulangan penyakit malaria. Keempat, di sektor infrastruktur, telah berhasil menambah ruas jalan hingga 811,998 km dan penanganan jembatan 512 meter di berbagai daerah kabupaten/kota, Pembangunan bandar udara sentani, sorong, mimika, dan beberapa daerah lain, penambahan sarana trasnporasi darat, laut/sungai, dan udara.

Paradigma Pembangunan yang diafiliasikan adalah meneruskan paradigma yang diterapkan pada era sebelumnya (era otonomi daerah), dengan kombinasi pendekatan yang lebih sarat pada pemberdayaan masyarakat. Program-program Pembangunan yang dicapai tersebut, mulai memberikan ruang yang luas kepada masyarakat sejak proses perencanaan hingga monitoringnya. Masyarakat telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menentukan sendiri kebutuhannya. Beberapa mekanisme pendekatan yang di-gunakan hingga saat ini, antara lain RPJMK (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung/Keluharan), Program pengembangan distrik, dan Program pemberdayaan Kampung/Kelurahan, yang semuanya bertumpu dari masyarakat. Pola pendampingan dan pelibatan stakeholders dalam hal ini adalah sesuatu yang disyaratkan.Pola pendekatan Pembangunan yang demikian itu menjustifikasi pemba-ngunan yang berpusat pada rakyat, sekaligus memotong ketergantungan masya-rakat kampung/kelurahan pada pemerintahan tingkat atasnya. Dalam jangka panjang, dapat menghapuskan kategori : pusat, pheriferi, hinterland, atau daerah pusat, daerah semi-pinggrian, daerah pinggiran, dan enclave, tetapi berubah menjadi semuanya pusat, masyarakat sebagai pusat Pembangunan. Juga, dapat berarti me-reduksi pendekatan tricle-down karena faktanya sungguh-sungguh bottom-up bukan lagi top down di kampung/kelurahan. Sangat disayangkan, karena seiring dengan keberhasilan tersebut aspek pembiayaannya masih menjadi wewenang dan tang-gung jawab kabupaten/kota. Walaupun ditengarai akan memunculkan sentralisasi baru di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tetapi argumen yang diajukan cukup beralasan karena memang untuk kondisi saat ini, masyarakat kampung dan distrik masih dipandang tidak cukup cakap dalam mengelola aspek pembiayaannya.

Memasuki Tahun Pertama pasca terbentuknya DPRP (Dewan perwakilan rakyat Papua) dan MRP (Majelids Rakyat Papua), ada angin segar bagi perubahan pendekatan Pembangunan yang lebih mengedepankan aspek-aspek kebutuhan lokalitas. Pendekatan pengelolaan Pembangunan berbasis pada perencanaan pem-bangunan jangka panjang (PPJP), perencanaan Pembangunan jangka menengah (PPJM), dan Perencaan Pembangunan Jangka Pendek – Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) telah menjadi bagian dari kerangka dasar skenario memajukan masyarakat di Tanah Papua, seiring dengan semangat desentralisasi yang sedang bergulir saat ini. Pendekatan pengelolaan Pembangunan ini, diharap-kan dapat mengoptimalkan segenap potensi daerah ke arah peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara merata. Agar Pembangunan daerah dapat berjalan seiring dan bahkan mampu menciptakan sinergi antara sesamanya, diperlukan adanya visi dan misi yang jelas dan dapat dioperasionalkan oleh seluruh perangkat pemerintahan dan komponen masyarakat.Model pengelolaan Pembangunan tersebut, akan memberikan peluang untuk memanfaatkan potensi Tanah Papua seoptimal mungkin. Dalam kerangka itulah, diperlukan suatu sistematisasi rencana Pembangunan yang dipedomani oleh semua pihak. Rencana Pembangunan merupakan hasil konsensus antara aktor-aktor Pembangunan seperti Pemerintah Provinsi Papua beserta seluruh komponen masyarakatnya yang terdiri atas kelompok swasta dan lapisan masyarakat lainnya. Karenanya, Perencanaan harus memuat komitmen yang kuat bagi kemajuan masyarakat dan daerah ini sesuai ketersediaan daya dukung sumberdaya pemba-ngunan yang tersusun berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan dan mengacu pada visi dan misi Pemerintah Provinsi Papua.

Pada konteks itulah, maka guna mewujudkan tujuan pembangunan di Tanah Papua, telah dirancang secara sistematis dalam suatu dokumen rencana pembangunan yang integratif dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional, Undang-Undang 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran dari Visi, Misi Kepala Daerah yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, program-program pembangunan dan kegiatan pokok, sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, termaktub kehendak pelimpahan kewenangan kepada daerah otonom. Sementara itu, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 antara lain memuat pasal-pasal yang menekankan urgensi kewenangan memajukan orang Papua. Maka, disusunlah dokumen RPJP (rencana pembangunan jangka Panjang) Papua 2005-2020 dan akan disusul dengan penyusunan Rencana pembangunan Jangka Menengah pasca Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2005-2010 yang antara lain memuat kebijakan umum pembangunan, kebijakan keuangan, dan program pembangunan yang ditumpukan pada sasaran utamanya di bidang-bidang : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur, dan dengan memperhatikan perkembangan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Hal yang sama kini sedang digalakan di semua kabupaten/kota se- Papua yang difasilitasi oleh UNDP (United Nation Development Programme), dibantu oleh beberapa LSM Lokal dan Universitas Cenderawasih.

BAB IV

P E N U T U P

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa :

1. Proses pembangunan di Papuatelah mengalami 3 fase penting yang dicirikan oleh pola anutan paradigma dan kendala-kendalanya masing-masing. Ketiga fase tersebut telah memberi warna pembangunan bagi masyarakat Papua dengan segala keunikannya.
2. Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah dan otonomi khusus, terjadi pergeseran nuansa pembangunan yang mulai meninggalkan paradigma pertumbuhan secara perlahan-lahan dan mengedepankan paradigma pembangunan yang lebih manusiawi. Sejak dua fase pembangunan terakhir, adaptasi dan adopsi teori modernisasi dengan paradigma pertumbuhannya mulai ditinggalkan secara bertahap. Tampaknya, di masa mendatang paradigma pertumbuhan akan tergantikan oleh paradigma pembangunan yang lebih sesuai dengan takaran “manusiawi” dan pemberdayaan masyarakat.
3. Selama era Orde Baru yang sentralistis itu, seringkali terdengar Strategi Bottom-Up yang disuarakan hanya sebagai komoditi politik belaka, tetapi sebagai komoditi ekonomi sangat jarang atau bahkan tak pernah melihat strategi itu diterapkan di Kampung. Dominasi Top-Down yang sangat kental mewarnai system perencanaan pembangunan hingga ke kampung/ kelurahan, sekaligus mempertontonkan arogansi kepentingan para perencana sendiri.
4. Kemajuan-kemajuan pembangunan yang telah dicapai hingga Tahun 2005 ini, sesungguhnya masih dapat dioptimalkan dengan berupaya menghilangkan berbagai kendala politik yang menyertai hubungan pusat-daerah, dan hubungan antar daerah se Tanah Papua.
5. Terjadi perkembangan baru pendekatan pembangunan di Tanah Papua pada akhir tahun 2005, dimana mekanisme baru pengelolaan pembangunan yang terigratif dan terencana baik jangka panjang maupun jangka menengah dan jangka pendek sedang digalakkan hingga ke berbagai kabupaten/kota se Papua.

SARAN

1. Sehubungan dengan pemberlakuan kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab menuju berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandung otonomi khusus, perlu dilakukan adaptasi institusi birokrasi pemerintahan dan model pemba-ngunan yang demokratis, aspiratif, berkeadilan serta lebih memihak kepada rakyat. Di samping itu, perlu adanya revitalisasi dan refungsionalisasi aparatur pemerintahan berwawasan budaya dan lingkungan. Pada konteks ini, perlu pula dilakukan adaptasi paradigma pembangunan yang lebih sesuai dengan konteks kebutuhan pembangunan.
2. Pada dasarnya masyarakat membutuhkan tindakan nyata yang langsung dapat diakses dan dinikmati. Oleh karena itu, perlu meningkatkan varian-varian program aksi yang terakomodasi dalam perencanaan sosial dan perencanaan ekonomi yang lebih spesifik. Nilai-nilai sosial budaya lokal perlu ditransformasikan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat dan terintegrasi dalam kinerja pemerintahan dan pembangunan di tingkat Kampung hingga kabupaten.
3. Sistem dan prosedur perencanaan pembangunan perlu secara konsisten di-adaptasikan sesuai dengan poa anutan paradigma pembangunan yang berioentasi pada pem-berdayaan masyarakat menuju kemandiriannya. Oleh karena itu, perlu peningkatkan peran institusi perencana dan pelaksana pembangunan di tingkat Kampung hingga ke tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya reduksi usulan program secara tidak obyektif atau hilangnya usulan program dari Kampung, diperlukan adanya sistem dokumentasi usulan rencana (dokumen perencanaan yang dialirkan dari bawah ke atas secara konsisten.
4. Diperlukan adanya penggalangan kemitraan dengan segenap stakeholders guna mencari dan menemukan visi dan misi pembangunan bersama. Sehubungan dengan itu, diperlukan adanya forum kerjasama formal di antara institusi masyarakat yang ada di setiap Kampung, Distrik, hingga kabupaten. Melalui wadah formal tersebut dijalin kerjasama informasi secara terpadu dalam kerangka makro-sektoral dan mikro-spasial.
5. Memulai strategi ekonomi kerakyatan di tengah-tengah masyarakat, di mana peren-canaan pembangunan yang dirancang hendaknya secara sungguh-sungguh dan nyata-nyata melibatkan masyarakat paling bawah. Oleh karena itu diperlukan adanya semacam rekonstruksi model-arus perencanan yang aplikatif dan fleksibel sesuai dengan kondisi masyarakat di tiap wilayah yang diikuti dengan desentralisasi fiskal hingga ke tingkat distrik, yang pada gilirannya diturunkan lagi ke tingkat Kampung/ kelurahan.
6. Pergeseran paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi berarti memerlukan peningkatan peran kemandirian daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menyikapi dan mengakomodasi beberapa prasyarat penting yang memerlukan perhatian serius, seperti : peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai prioritas utamany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget

FEEDJIT Live Traffic Feed

FEEDJIT Live Traffic Feed

Blog Archive

Pengikut

APSAN

A
nak
P
apua
S
etia
A
kan
N
egrinya

Cari Blog Ini

APSAN

AANAK
PPAPUA
SSETIA
AAKAN
NNEGERINYA

PAPUA-SATU

Entri Populer


wibiya widget


ko kabr